Di Tengah Ledakan Teknologi, Kita Sedang Kehilangan Kemampuan untuk Diam

Dunia kita hari ini bergerak cepat. Terlalu cepat, kadang. Teknologi berkembang dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Kita disuguhkan inovasi demi inovasi: AI yang bisa menulis puisi, mobil yang bisa menyetir sendiri, algoritma yang tahu apa yang kita pikirkan sebelum kita sempat mengucapkannya. Menariknya, di tengah semua kemajuan ini, ada satu hal yang justru makin langka: keheningan. Ruang untuk diam. Waktu untuk benar-benar hadir tanpa distraksi.
Teknologi: Berkah atau Gangguan?
Jujur saja, kita semua menikmati kenyamanan yang ditawarkan teknologi. Siapa yang tidak suka bisa memesan makanan hanya dengan satu klik? Atau bisa video call dengan orang tua di kampung halaman tanpa harus naik bus berjam-jam? Tapi di sisi lain, ada harga yang kita bayar. Bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk perhatian, ketenangan, dan kedalaman berpikir.
Kadang kita lupa bahwa otak manusia tidak dirancang untuk terus-menerus menerima notifikasi, update, dan informasi tanpa henti. Kita jadi terbiasa dengan kecepatan, dan mulai merasa gelisah saat tidak ada yang terjadi. Diam terasa seperti kekosongan yang harus segera diisi. Padahal, justru dalam diam itulah banyak hal penting bisa muncul: refleksi, kreativitas, bahkan pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri.
Budaya Digital dan Ilusi Produktivitas
Di era digital, kita hidup dalam budaya yang memuja produktivitas. Setiap menit harus “bermanfaat”. Kita scrolling sambil makan, mendengarkan podcast sambil jalan, bahkan kadang bekerja sambil menonton video. Multitasking jadi semacam badge of honor. Tapi apakah kita benar-benar lebih produktif? Atau hanya terlihat sibuk?
Yang sering luput kita sadari adalah bahwa produktivitas bukan soal berapa banyak yang kita lakukan, tapi seberapa dalam kita melakukannya. Menyelesaikan lima tugas dalam sehari tidak berarti kita benar-benar hadir dalam masing-masing tugas itu. Kita mungkin hanya meluncur di permukaan, tanpa sempat menyelam ke dalam.
Keheningan Sebagai Ruang Pemulihan
Menariknya, banyak pemikir besar dalam sejarah justru menemukan ide-ide terbaik mereka dalam keheningan. Albert Einstein suka berjalan sendirian. Virginia Woolf menulis tentang pentingnya “ruang sendiri”. Bahkan Steve Jobs dikenal sering duduk diam di taman Zen. Mereka tahu bahwa keheningan bukan kekosongan, tapi ruang yang subur untuk tumbuh.
Dalam keheningan, kita bisa mendengar suara hati kita sendiri. Kita bisa bertanya: apa yang sebenarnya penting? Apa yang sedang kita rasakan? Apa yang sedang kita hindari? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak muncul saat kita sibuk mengejar notifikasi atau tenggelam dalam feed media sosial.
Mengembalikan Ritme Manusiawi
Kita butuh ritme yang lebih manusiawi. Ritme yang memberi ruang untuk bernapas, untuk merasa, untuk berpikir. Bukan berarti kita harus menolak teknologi. Tapi kita perlu menggunakannya dengan kesadaran. Kita perlu menciptakan jeda di antara semua kebisingan digital.
- Matikan notifikasi selama beberapa jam sehari.
- Luangkan waktu untuk berjalan tanpa tujuan, tanpa earphone.
- Biasakan duduk diam selama 10 menit setiap pagi, hanya untuk merasakan keberadaan.
- Jangan merasa bersalah saat tidak “melakukan apa-apa”.
Ini bukan soal menjadi anti-teknologi. Ini soal menjaga kemanusiaan kita di tengah arus digital yang deras. Karena kalau kita kehilangan kemampuan untuk diam, kita juga kehilangan kemampuan untuk benar-benar hidup.
Refleksi untuk Masa Depan
Dunia akan terus berubah. Teknologi akan semakin canggih. Tapi pertanyaannya adalah: apakah kita akan ikut berubah menjadi mesin, atau tetap menjadi manusia? Manusia yang bisa merasa, merenung, dan hadir sepenuhnya.
Kadang, yang paling revolusioner bukanlah menciptakan teknologi baru, tapi berani berhenti sejenak. Berani tidak melakukan apa-apa. Berani mendengarkan keheningan. Karena di sanalah, kita bisa menemukan kembali siapa kita sebenarnya.
