Wx0xo6FsZRyx4rLE66hBR56d1ftvUDQRSK2eJM5q
Bookmark

Di Tengah Ledakan Teknologi, Kita Sedang Kehilangan Kemampuan untuk Diam

Di Tengah Ledakan Teknologi, Kita Sedang Kehilangan Kemampuan untuk Diam

Ada satu hal yang makin langka di era digital ini: keheningan. Bukan sekadar suasana sunyi tanpa suara, tapi keheningan dalam pikiran. Ruang kosong di kepala yang dulu sering kita temui saat menunggu bus, berjalan kaki, atau sekadar duduk tanpa melakukan apa-apa. Sekarang, ruang itu hampir selalu diisi oleh notifikasi, scroll tanpa henti, dan suara-suara dari dunia maya yang tak pernah benar-benar berhenti.

Teknologi Memberi, Tapi Juga Mengambil

Jujur saja, teknologi telah memberi kita banyak hal luar biasa. Kita bisa belajar apa saja, kapan saja. Bisa terhubung dengan siapa pun, bahkan lintas benua. Bisa bekerja dari mana saja, bahkan sambil rebahan. Tapi di sisi lain, ada harga yang kita bayar — dan kadang kita lupa menghitungnya.

Menariknya, yang diambil bukan sesuatu yang kasat mata. Bukan uang, bukan waktu secara langsung. Tapi perhatian. Fokus. Dan yang paling subtil: kemampuan untuk merasa cukup dengan diam.

Budaya Digital dan Ketergantungan yang Terselubung

Kita hidup dalam budaya digital yang mendorong kita untuk terus aktif. Terus update. Terus eksis. Rasanya aneh kalau sehari saja tidak membuka media sosial. Bahkan banyak dari kita yang bangun tidur langsung cek ponsel, sebelum menyapa dunia nyata.

Yang sering luput kita sadari, ini bukan sekadar kebiasaan. Ini sudah jadi semacam refleks. Dan refleks ini dibentuk oleh sistem yang memang dirancang untuk membuat kita ketagihan. Algoritma tahu apa yang kita suka, dan terus menyodorkan hal-hal yang membuat kita betah berlama-lama. Kita jadi seperti hamster di roda, terus berlari tanpa tahu kapan berhenti.

Keheningan Bukan Musuh, Tapi Ruang untuk Bertumbuh

Di tengah hiruk-pikuk digital, keheningan sering dianggap membosankan. Padahal, justru di sanalah banyak hal penting terjadi. Di saat kita diam, pikiran bisa mencerna. Bisa mengendapkan. Bisa menyusun ulang potongan-potongan pengalaman menjadi pemahaman.

Banyak ide besar lahir bukan saat seseorang sedang sibuk, tapi saat mereka sedang tidak melakukan apa-apa. Jalan kaki sore, duduk di taman, atau bahkan saat mandi. Keheningan memberi ruang bagi kreativitas untuk bernapas.

Mengapa Kita Perlu Belajar Diam Lagi?

Karena dunia tidak akan berhenti berisik. Tapi kita bisa memilih untuk tidak selalu ikut berisik. Kita bisa melatih diri untuk tidak selalu bereaksi. Tidak selalu merasa harus tahu segalanya, sekarang juga.

Diam bukan berarti pasif. Justru kadang, diam adalah bentuk aktif dari kesadaran. Kesadaran bahwa kita tidak perlu selalu terlibat. Tidak perlu selalu hadir. Tidak perlu selalu menjawab.

  • Diam memberi ruang untuk refleksi.
  • Diam membantu kita mengenali emosi sendiri.
  • Diam membuat kita lebih peka terhadap sekitar.
  • Diam bisa jadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang ingin kita terus aktif.

Langkah Kecil Menuju Keheningan

Tidak perlu langsung jadi pertapa. Tapi kita bisa mulai dari hal sederhana. Misalnya:

  • Matikan notifikasi selama satu jam sehari.
  • Jalan kaki tanpa membawa ponsel.
  • Luangkan waktu 10 menit untuk duduk diam, tanpa tujuan.
  • Biasakan tidak langsung membuka ponsel saat bangun tidur.

Kedengarannya sepele, tapi dampaknya bisa besar. Kita mulai belajar kembali merasakan dunia tanpa perantara layar. Mulai mendengar suara hati yang selama ini tenggelam oleh suara digital.

Refleksi di Tengah Perubahan

Dunia akan terus berubah. Teknologi akan makin canggih. AI, metaverse, augmented reality — semua itu akan terus berkembang. Tapi di tengah semua itu, kita tetap manusia. Kita tetap butuh ruang untuk merasa. Untuk berpikir. Untuk diam.

Kadang, yang paling revolusioner bukan teknologi terbaru. Tapi keberanian untuk berhenti sejenak dan bertanya: "Apa yang sebenarnya sedang aku cari?"

Mungkin jawabannya tidak ada di layar. Tapi di dalam diri kita sendiri.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar