Wx0xo6FsZRyx4rLE66hBR56d1ftvUDQRSK2eJM5q
Bookmark

Hidup di Era Overinformasi: Saat Otak Kita Kewalahan Memilah Kebenaran

Hidup di Era Overinformasi: Saat Otak Kita Kewalahan Memilah Kebenaran

Pernah nggak sih merasa lelah hanya karena terlalu banyak informasi yang masuk setiap hari? Bangun tidur, buka ponsel, langsung disambut notifikasi berita, opini, video viral, dan entah berapa banyak konten lain yang berlomba-lomba mencuri perhatian. Menariknya, kita sering merasa harus tahu semuanya. Takut ketinggalan. FOMO, katanya.

Tapi di sisi lain, ada harga yang harus dibayar. Otak kita bukan mesin pencari. Ia punya batas. Dan di zaman sekarang, batas itu diuji setiap hari. Kita hidup di era overinformasi — dan jujur saja, ini bukan cuma soal banyaknya data, tapi juga soal bagaimana kita memproses, memilah, dan memaknainya.

Informasi Bukan Lagi Soal Akses, Tapi Seleksi

Dulu, informasi adalah barang langka. Kita harus ke perpustakaan, baca buku, atau tanya orang yang lebih tahu. Sekarang? Semua ada di ujung jari. Mau tahu sejarah peradaban Maya, cara bikin kopi cold brew, atau teori konspirasi terbaru — tinggal ketik.

Tapi justru di sinilah masalahnya. Ketika semua orang bisa bicara, dan semua hal bisa diakses, siapa yang bisa kita percaya? Mana yang fakta, mana yang opini, mana yang manipulasi? Kadang kita lupa bahwa tidak semua yang terdengar meyakinkan itu benar. Dan tidak semua yang benar itu terdengar meyakinkan.

Yang sering luput kita sadari: kemampuan memilah informasi kini jauh lebih penting daripada sekadar mencarinya. Literasi digital bukan cuma soal bisa pakai Google, tapi soal bisa berpikir kritis di tengah banjir data.

Efek Psikologis: Lelah, Cemas, dan Terpecah Fokus

Overinformasi bukan cuma bikin bingung, tapi juga melelahkan secara mental. Ada istilahnya: information fatigue syndrome. Gejalanya? Sulit fokus, mudah cemas, merasa kewalahan, bahkan kadang jadi apatis karena merasa “terlalu banyak yang harus dipikirkan.”

Kita jadi sering scrolling tanpa arah, bukan karena ingin tahu, tapi karena otak kita sudah terbiasa dengan rangsangan konstan. Ironisnya, semakin banyak kita konsumsi, semakin sedikit yang benar-benar kita cerna. Kita tahu banyak hal secara dangkal, tapi jarang punya waktu (atau energi) untuk memahami sesuatu secara mendalam.

Dan ini bukan cuma soal individu. Di level sosial, ini menciptakan masyarakat yang cepat bereaksi tapi lambat merenung. Cepat marah, cepat percaya, cepat menyebar — tapi jarang bertanya: “Apakah ini benar? Apakah ini penting?”

Algoritma dan Ilusi Kebebasan

Kadang kita merasa bebas memilih apa yang ingin kita lihat. Padahal, banyak dari apa yang kita konsumsi sudah disaring oleh algoritma. Konten yang muncul di beranda kita bukan cerminan dunia, tapi cerminan dari apa yang sistem pikir kita sukai — atau lebih tepatnya, apa yang membuat kita terus menatap layar.

Ini menciptakan gelembung informasi. Kita dikelilingi oleh opini yang mirip dengan kita, berita yang menguatkan keyakinan kita, dan narasi yang membuat kita merasa “paling benar.” Akibatnya? Polarisasi. Ketika ada yang berbeda, kita langsung curiga. Ketika ada yang bertanya, kita anggap menyerang.

Menariknya, semua ini terjadi tanpa kita sadari. Kita pikir kita memilih, padahal kita sedang diarahkan. Kita pikir kita tahu banyak, padahal kita hanya tahu apa yang ingin kita lihat.

Jalan Tengah: Pelan, Dalam, dan Sadar

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja kita nggak bisa kembali ke zaman tanpa internet. Tapi kita bisa memilih untuk hidup lebih sadar di tengah derasnya informasi.

  • Kurangi konsumsi, perbanyak kontemplasi. Nggak semua berita harus dibaca. Nggak semua tren harus diikuti. Pilih yang penting, dan beri ruang untuk mencerna.
  • Latih skeptisisme sehat. Bukan berarti curiga terus, tapi biasakan bertanya: siapa yang bicara? Apa motifnya? Apa buktinya?
  • Berani diam. Kadang, tidak bereaksi adalah bentuk keberanian. Tidak ikut menyebar, tidak ikut marah, tidak ikut panik — itu juga pilihan.
  • Bangun kebiasaan membaca panjang. Artikel, buku, esai — apapun yang menantang kita untuk berpikir lebih dalam dan tidak instan.
  • Sadari bias algoritma. Coba keluar dari gelembung. Ikuti akun yang berbeda pandangan, baca media dari berbagai sisi, dan jangan takut merasa tidak nyaman.

Penutup: Menjadi Manusia di Tengah Derasnya Data

Di era ini, menjadi manusia bukan soal tahu segalanya. Tapi soal tahu kapan harus berhenti, kapan harus bertanya, dan kapan harus diam. Kita bukan mesin. Kita punya intuisi, empati, dan kesadaran — hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh algoritma.

Kadang, yang paling radikal bukanlah menjadi yang paling update. Tapi menjadi yang paling jernih. Di tengah hiruk-pikuk informasi, mungkin yang paling berani adalah mereka yang memilih untuk berpikir pelan, mendengar dalam, dan hidup dengan sadar.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak yang kita tahu yang membuat kita bijak — tapi seberapa dalam kita memahami, dan seberapa manusiawi kita merespons dunia.

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar