Masa Depan yang Humanis: Menjadi Manusia di Tengah Deru Teknologi dan Krisis Iklim

Kadang kita lupa, di antara notifikasi ponsel yang tak henti berdering, laporan iklim yang mencemaskan, dan obrolan tentang AI yang akan mengambil alih segalanya, bahwa kita pada dasarnya adalah manusia. Makhluk yang punya rasa, punya hati nurani, dan punya tanggung jawab terhadap sesama serta planet yang kita tinggali. Dunia kita sedang berubah dengan kecepatan yang belum pernah terjadi. Dua kekuatan besar—revolusi teknologi dan krisis iklim—sedang membentuk ulang realitas kita. Di tengah pusaran ini, sebuah pertanyaan mendesak mengemuka: bagaimana kita memastikan bahwa kemajuan yang kita kejar tidak justru mengikis kemanusiaan kita?
Gelombang Teknologi 2025: Lebih dari Sekadar Angka dan Proyeksi
Mari kita mulai dengan teknologi, karena inilah narasi yang paling sering menggema. Laporan McKinsey & Company untuk tahun 2025 memproyeksikan sebuah dunia di mana lebih dari 70% proses bisnis global akan digerakkan oleh Kecerdasan Buatan (AI) [citation:6]. Angka ini bukan lagi fiksi. AI telah merasuk dari pabrik-pabrik otomatis hingga ke diagnosis penyakit yang lebih akurat, di mana algoritma dapat mengenali pola abnormal dalam hasil MRI yang mungkin terlewat oleh mata manusia [citation:7]. Di sisi lain, jaringan 5G diperkirakan akan menjangkau 60% populasi dunia, menjadi urat nadi bagi kota-kota pintar dan rumah yang terhubung [citation:6].
Namun, jujur saja, di balik efisiensi dan kemudahan yang ditawarkan, ada kegelisahan. Ancaman keamanan siber memaksa belanja global untuk pertahanan digital ini melampaui 200 miliar dolar AS per tahun [citation:6]. Yang lebih halus lagi adalah erosi kebenaran. Teknologi deepfake dan disinformasi yang disebarkan oleh AI yang sama canggihnya mengancam tenun sosial kita, memanipulasi opini publik, dan menggerus kepercayaan [citation:7]. Revolusi teknologi ini bagai pisau bermata dua; satu sisi memotong jalan menuju kemajuan, sisi lain berpotensi melukai tubuh sosial kita.
Bumi yang Demam: Seruan untuk Energi Bersih dan Keadilan Iklim
Sementara kita sibuk dengan dunia digital, planet kita, rumah kita satu-satunya, sedang tidak baik-baik saja. Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dengan tegas menyatakan, "Bumi sedang demam" [citation:2]. Tahun lalu tercatat sebagai tahun terpanas, dengan gejala yang tak bisa lagi kita abaikan: kebakaran hutan yang dahsyat, banjir, dan panas yang merenggut nyawa [citation:2]. Akar penyakit ini, sebagaimana diungkapkan dalam pesan Hari Bumi 2025, adalah emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil [citation:2].
Menariknya, jalan keluar dari krisis ini justru menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Transisi menuju energi terbarukan—surya, angin, air, dan panas bumi—bukan hanya soal menyelamatkan lingkungan. Menurut kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), potensi ekonomi dari pengembangan industri manufaktur energi surya, angin, dan baterai di Indonesia bisa mencapai nilai fantastis, US$551,5 miliar pada 2060 dan berpotensi menciptakan 9,7 juta job-years [citation:2]. Sayangnya, potensi sebesar 3.686 Gigawatt ini masih sangat terabaikan. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, menyoroti hambatan utama: kerangka regulasi yang terfragmentasi dan keterbatasan tenaga kerja terampil [citation:2]. Di sini, kita melihat sebuah persimpangan: antara masa depan hijau yang menjanjikan dengan realitas kebijakan yang masih tersendat.
Pertemuan Dua Kekuatan: Di Mana Peran Kemanusiaan Kita?
Lalu, di mana posisi kita sebagai manusia dalam narasi besar teknologi dan iklim ini? Teknologi dan kebijakan hanyalah alat. Nilai kemanusiaan kitalah yang akan menentukan untuk apa alat-alat itu digunakan. Sebuah renungan dalam Suara Muhammadiyah mengingatkan kita bahwa sangat dipertanyakan nilai keagamaan seseorang jika dalam kenyataannya kita tidak punya pribadi yang memanusiakan manusia dengan adil [citation:5]. Pesan ini universal, melampaui sekat agama mana pun.
Di dunia digital yang serba cepat, kita sering kali terjebak dalam "kacamata kuda". Egoisme mendominasi, sehingga kita sulit menghormati perbedaan pemikiran, pandangan, dan kultur [citation:5]. Kita lebih mudah menyebarkan hate speech daripada melakukan dialog yang konstruktif. Padahal, dalam konteks berbangsa, nilai-nilai Pancasila—khususnya sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab—mengajak kita untuk justru merayakan perbedaan itu sebagai kekuatan [citation:3][citation:5]. Nilai-nilai ini bukanlah mantra usang yang harus dibiarkan teronggok dalam buku sejarah. Ia adalah kompas yang bisa menuntun kita dalam menggunakan teknologi secara bertanggung jawab dan memastikan transisi energi dilakukan dengan prinsip keadilan, sehingga tidak ada satu pun masyarakat yang tertinggal.
- AI untuk Kemanusiaan: Alih-alih hanya mengejar efisiensi profit, dapatkah kita mengarahkan AI untuk memecahkan masalah kelaparan, mendiagnosa penyakit di daerah terpencil, atau memulihkan lingkungan? [citation:7]
- Energi Bersih yang Berkeadilan: Transisi energi harus inklusif, menyentuh semua lapisan masyarakat dan menciptakan lapangan kerja hijau yang bermartabat, seperti yang direkomendasikan oleh kajian IESR [citation:2].
- Literasi Digital yang Berbasis Nilai: Literasi digital tidak boleh hanya sekadar cara mengoperasikan gadget, tetapi juga tentang etika, empati, dan kemampuan kritis untuk memilah informasi yang benar di tengah banjir disinformasi [citation:7].
Sebuah Refleksi untuk Langkah ke Depan
Yang sering luput kita sadari adalah bahwa masa depan bukanlah destinasi yang pasif kita tunggu, melainkan sebuah realitas yang kita aktifkan bersama hari ini. Tantangan yang kita hadapi—dari perubahan iklim hingga disrupsi teknologi—saling terhubung dan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral yang kaku.
Kita membutuhkan kolaborasi yang jarang terjadi sebelumnya: antara pemimpin politik, insinyur, ilmuwan, budayawan, dan setiap individu di masyarakat. Pemerintah perlu merumuskan peta jalan yang jelas dan konsisten untuk energi terbarukan dan penguatan SDM [citation:2]. Dunia industri harus berani berinovasi dengan paradigma yang berkelanjutan. Dan kita, sebagai masyarakat, memiliki kekuatan untuk membuat pilihan sehari-hari yang lebih berkelanjutan, mengurangi konsumsi energi, memilih transportasi ramah lingkungan, serta mendukung produk-produk yang bertanggung jawab [citation:2].
Pada akhirnya, di ujung semua proyeksi teknologi dan target pengurangan emisi, yang kita perjuangkan adalah kehidupan yang layak dan bermartabat untuk semua makhluk. Seperti pesan yang terkandung dalam perayaan Waisak, tentang pentingnya membangun kehidupan yang penuh kasih, damai, dan bijaksana [citation:8]. Masa depan bukanlah soal menjadi masyarakat yang paling canggih, melainkan tentang menjadi masyarakat yang paling beradab. Di tengah deru mesin dan kepulan polusi, marilah kita tidak kehilangan suara hati nurani kita—suara yang mengingatkan bahwa kita adalah manusia, yang saling terhubung tidak hanya oleh kabel fiber optik, tetapi juga oleh nasib bersama di planet yang rapuh ini.
